Crysna Rhany Ningrum

Saya hanyalah seorang guru dari kota kecil yang tidak punya banyak harta untuk berbagi...tapi memiliki sebidang lahan di hati yg sangat luas untuk berbagi ilmu....

Selengkapnya
Navigasi Web
Motor Spesial

Motor Spesial

#TantanganGurusiana

Tantangan Hari ke-3

Motor Spesial

Ini adalah motor hadiah dari suamiku. Motor yang diberikan untukku atas dikabulkannya permintaannya untuk menambah momongan lagi, sekaligus sebagai hadiah ulang tahunku. Motor yang awalnya dibeli dengan cara kredit, namun baru beberapa bulan dicicil malah langsung dibayar tunai. Motor yang seumur dengan usia si ragil saat ini. Motor yang telah memberikan banyak cerita baik suka dan duka. Motor yang karenanya, kedua anak kami sekarang sudah bisa naik motor sendiri.

Angka yang tertera di dalamnya menunjukkan jauhnya perjalanan yang telah kulalui. Walaupun jarak rumah ke sekolah tidak sampai tiga kilometer, namun pada kenyataannya motor ini telah mengantarku sampai ke kota-kota lain untuk berbagi ilmu. Dari motor inilah aku bisa mengajar kesana kemari. Tidak hanya kepada siswa, guru pun juga sering menjadi target untukku berbagi ilmu.

Banyak hal yang telah dilakukan Mas Anto untuk membahagiakan kami. Tak jarang, ia mengalahkan semua kebutuhannya demi kami. Meskipun aku bukan termasuk tipe wanita yang suka meminta sesuatu ke suami, tapi mendapat hadiah motor baru adalah sebuah kebahagiaan tersendiri saat itu. Aku memang tidak suka menggantungkan diri kepada suami. Sebisa mungkin aku membantu meringankan beban suami. Menjadi ibu rumah tangga sekaligus wanita pekerja bukanlah perkara yang mudah. Selain dituntut untuk selalu profesional dalam bekerja, aku juga dituntut untuk bisa memberikan perhatian lebih untuk putra-putri kami.

Ada yang lucu dengan motor ini. Entah kenapa, setiap kali kami pergi entah kemana, berboncengan berdua dengan maksud agar lebih mesra, disaat itu pula ban belakang motor ini selalu bocor. Hingga suatu saat, ketika habis Isya’ Mas Anto mengajakku untuk mengantarkannya ke tempat pengobatan alternatif. Jaraknya lumayan lauh, meskipun masih berada dalam satu kota yang sama. Malam itu kami mendapati kesialan yang bertubi-tubi. Malam Jum’at. Malam yang dianggap keramat bagi sebaian besar masyarakat luas. Malam yang hening dan gelap karena kami melewati jalan-jalan persawahan. Kami terus mencari alamat sang tabib hanya dengan berbekal informasi di sebuah sosial media. Alhasil, google map kami nyalakan untuk mencari alamat yang dimaksud. Jalan yang kami lalui benar-benar buruk. Kanan kiri hanya hamparan sawah yang luas. Suasana semakin mencekam. Kami hanya mendapat terang dari lampu motor kami. Angin yang berhembus kencang seakan tahu ketakutan yang melanda diri ini. Duduk di belakang suami sambil mata melirik ke kiri dan ke kanan. Sesekali mata sengaja kupejamkan karena aku memang sangat takut kegelapan. Hingga akhirnya kami melewati sebuah kuburan. Sontak saja seluruh bulu kudukku berdiri. Badan gemetar. Tanganku semakin mencekeram jaket suami. Mulut ini pun tak berhenti komat-kamit memanjatkan do’a. Tanpa sengaja, tiba-tiba mulut ku berkata, “Ayah, jalannya kok jelek sekali. Kalau nanti bannya bocor bagaimana?” Seketika itu juga suamiku marah. “Jangan ngomong sembarangan, Ma! Sudah, diam saja!” Mendapati bentakan suami, aku hanya terdiam. Kutundukkan kepala di bahunya. Tak mau lagi aku melihat kegelapan. Biar saja kegelapan itu dinikmatinya sendiri.

Setelah beberapa lama mencari alamat dan bertanya ke beberapa orang, akhirnya kami sampai di rumah Tabib. Kami pun turun dari motor. Suasana rumah tampak sepi. Berulang kali kami mengucap salam tak ada satu orang pun yang menjawab salam kami. Hingga akhirnya muncul seorang ibu dari rumah sebelah. Mungkin dia tetangganya, atau saudaranya, kami tidak begitu paham. Begitu kecewanya kami setelah mendengar penjelasan ibu tersebut. Ternyata, tempat pengobatan ini tutup setiap malam Jum’at. Akhirnya kami pulang dengan penuh kekecewaan.

Kami berdua kemudian pulang. Kali ini melewati jalan yang berbeda. Dan anehnya, jalan ini begitu mulus dan hanya sebentar berkendara sudah sampai di jalan besar. Lalu, kenapa kami tadi melewati jalan bergelombang dan jauh dari jalan raya? Pikiran saya masih terheran-heran dengan kejadian tadi. Jarak yang sangat berbeda antara pulang dan pergi. Belum selesai bertanya dalam hati, tiba-tiba, “Joosssss ... gluduk gluduk gluduk!” Ban motor kami bocor. Beruntung kami tidak jatuh dari motor. Aku segera turun dari motor. Suamiku memeriksa ban belakang. Benar saja, bannya kempes. Kemudian, suamiku menatap tajam ke arahku. Jika tatapan itu semanis saat pertama kali dia datang merayuku, pasti pipiku akan merona merah jambu. Tapi, kali ini suamiku sedang tidak merayuku. Dia sedang marah dan menatapku dengan penuh amarah. Ya Allah, jantungku berdebar. Bukan karena jatuh cinta, tapi karena takut akan murkanya.

Benar saja, beberapa detik kemudian dia berkata, “Dasar pembawa sial!” Entah setan apa yang merasuki jiwa suamiku. Aku hanya terdiam dan berulang kali bilang maaf. “Makanya lain kali kalau ngomong itu hati-hati! Jangan asal bicara! Begini kan akibatnya! Ucapan itu do’a! Mama bilang bocor tadi dan sekarang bocor beneran!”

Aku hanya diam. Perasaan bersalah perlahan masuk ke ulu hati. Setetes demi setetes air mataku luruh. Meski sudah kutahan, tapi tetap jatuh juga. Melihat aku menangis, suamiku langsung beristighfar. Dia lantas menyuruhku menunggu di tempat itu dan dia berjalan mencari tempat tambal ban. Sekeras-kerasnya suamiku, dia tak pernah bisa melihat air mata menetes di pipi kami. Aku pun menuruti permintaannya.

Perlahan, kulihat suamiku menuntun kendaraan hingga jauh tak terlihat. Aku duduk sendirian. Jalanan ini ramai, tapi aku merasa tak nyaman duduk di bawah pohon ini sendirian. Tak ada seorang pun di sana. Hanya lalu lalang kendaraan saja yang banyak melintas di depanku. Aku melihat ke belakang. Sepi, kosong dan gelap. Yang tampak hanya sebuah bangunan kosong yang sepertinya sudah lama tidak ditinggali. Bulu kudukku kembali berdiri. Kali ini, aku benar-benar merasa ada yang aneh. Hawa dingin tiba-tiba naik dari kaki ke punggungku. Jantung berdetak sangat kencang. Entah benar atau tidak, aku merasa ada angin yang meniup-niup telingaku. Aku menoleh, tidak ada siapa-siapa. Aku semakin ketakutan setelah ada batu kerikil yang tiba-tiba terlempar ke kaki kananku.

“Siapa yang melemparnya!” tanyaku dalam hati. Aku kembali mencari arah pelemparnya. Tapi, tetap saja tidak ada satu orang pun di sekitarku. Aku makin tidak sanggup bertahan setelah aku mendengar suara erangan persis di sebelah telingaku. Seperti suara lelaki tua. Berat sekali suaranya.

“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” aku meneriakkan takbir berulang kali dan akhirnya setengah berlari aku meninggalkan tempat seram itu. Tanganku segera menelpon suamiku. Tidak ada jawaban. Aku lupa jika Mas Anto sedang tidak membawa telepon genggamnya. Terakhir aku melihatnya sedang di charge di kamar. Aku menelepon anak sulung kami, tapi dia sedang berlatih pencak silat. Akhirnya aku menggunakan jasa ojek online untuk mengantarku pulang sekarang juga. Sepanjang perjalanan aku melihat ke kiri dan kanan, berharap melihat tempat tambal ban dan menemukan suamiku di sana. Tapi, nihil. Sampai di rumah aku masih belum menemukan suamiku. Ternyata, suamiku belum pulang. Aku tetap berusaha tenang.

Sekitar setengah jam kemudian, suamiku datang. Syukur Alhamdulillah akhirnya suamiku pulang. Dengan wajah kesal, ia kembali memarahiku.

“Kan sudah disuruh tunggu, kenapa pulang duluan? Aku kan jadi bolak balik mencari Mama!” tanyanya penuh kekesalan.

Aku tidak menjawabnya. Menjelaskan sesuatu saat seseorang sedang marah itu percuma. Tidak akan membuat semua menjadi lebih baik. Seringnya malah bikin tambah berselisih paham. Jadi, aku lebih memilih untuk diam dan membuatkan teh manis hangat untuknya.

Setelah bersih-bersih diri, suamiku duduk dan meminum teh yang aku buatkan. Wajahnya perlahan kembali manis. Dengan suara pelan ia pun berkata, “Lain kali jangan gitu lagi ya, Ma ... aku takut mama kenapa-kenapa.”

Aku hanya tersenyum dan membalas ucapannya, “Besok saja aku cerita ke Ayah.”

Sepertinya suamiku paham dengan apa yang akan kuceritakan. Bukannya bingung, dia malah bilang, “Wah, Mama dapat kenalan baru ya?” dia terkekeh puas. Dia selalu seperti itu jika aku mendapat gangguan makhluk tak kasat mata.

Aku memukul lengannya dengan gemas. Dan akhirnya kami pun kembali tertawa sehangat dan semanis teh di hadapan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah cocok untuk dibaca malam nanti bun.. Btw kolom yg di bawah sih bgm cara mendapatkannya? Yg ada tulisan cerpen cerpencrysna....

23 Jan
Balas

Terima kasih atas apresiasinya Bunda Nurhayati. Untuk teks di bawah itu menggunakan tag Bunda. Silahkan diisi tagnya sesuai kebutuhan.

23 Jan



search

New Post