Crysna Rhany Ningrum

Saya hanyalah seorang guru dari kota kecil yang tidak punya banyak harta untuk berbagi...tapi memiliki sebidang lahan di hati yg sangat luas untuk berbagi ilmu....

Selengkapnya
Navigasi Web
TUNGGU AKU, SAYANG!

TUNGGU AKU, SAYANG!

“Selamat malam Minggu, Sayang. Tunggu aku datang sebentar lagi!”

Suara lembut di ujung gagang telepon itu selalu terngiang di telinganya. "Sebentar lagi dia akan datang", gumamnya dalam hati.

Sebuah kafe kecil di sudut kota Jogja, selalu menjadi tempat bertemunya Sastro dan Lastri melepas kerinduan. Hanya seminggu sekali mereka dapat bertemu. Secangkir kopi latte adalah minuman kesukaan Lastri, sedangkan Sastro lebih memilih secangkir kopi espresso untuk mengurangi dentuman rasa di hatinya setiap kali menatap mata indah wanita pujaannya.

Sastro selalu menjemput Lastri setiap malam Minggu. Rutinitas ini sudah berjalan empat tahun lamanya, namun selama itu pula Sastro selalu gamang setiap diberi pertanyaan, “Kapan kamu akan melamar Lastri?”.

Lastri yang merupakan anak seorang kepala desa, adalah kembang desa yang selalu hidup berkecukupan. Semua fasilitas diberikan oleh kedua orang tuanya. Berbeda dengan Sastro yang hanya anak seorang penjual sayur. Kemampuannya melanjutkan ke perguruan tinggi adalah karena keberuntungannya memiliki kecerdasan yang melebihi teman-temannya. Sejak sekolah dasar, ia selalu mendapatkan beasiswa karena meraih nilai yang tinggi. Untuk bisa mengajak Lastri makan dan minum di kafe kecil itupun, dia harus rela menahan rasa lapar dan dahaga agar uang sakunya bisa dipakai untuk mentraktir gadis pujaannya.

Empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk merenda kisah. Kesederhanaan Sastro telah berhasil membuat Lastri jatuh hati. Bersama Sastro, ia selalu menyusuri jalanan Jogja setiap malam minggu. Itulah kebersamaan yang selalu mereka tunggu. Berbincang hangat di sebuah kafe yang berdesain kuno membuat suasana jauh lebih romantis meski terlihat sangat sederhana.

Di kursi yang selalu sama, mereka selalu duduk di posisi yang sama pula. Bahkan, hingga mereka telah menikah pun, rutinitas untuk berkunjung ke kafe tersebut masih tetap mereka lakukan untuk mengabadikan kisah yang sejak awal terbina.

Malam itu, di bawah lampu kafe yang tak terlalu penuh terangnya, Sastro memakai baju kemeja warna biru dan celana jeans juga warna biru. Dia hanya memiliki dua celana jeans, warna hitam dan biru yang selalu bergantian ia dikenakan saat menemui Lastri, Dan, baju kemeja biru yang dipakainya tersebut adalah baju kesayangan yang didapatkan dari Lastri sebagai kado ulang tahunnya yang ke-20 waktu itu.

*****

Suara musik mengalun begitu merdu. Seolah musik tahu kemana mereka harus melaju menelusuri kisi-kisi hati yang sunyi. Mereka tampak larut dalam tatapan yang dalam. Senyum yang selalu mengembang, membuat debaran di dada makin berguncang. Sastro begitu rajin menanyakan kabar kekasihnya. Apapun yang terjadi selama seminggu, selalu menjadi bahan pembicaraan yang sangat menarik bagi Sastro. Lastri begitu detail menceritakan segala sesuatu yang terjadi pada dirinya. Sastro sangat menikmati cerita Lastri dengan pandangan takjub akan kecantikan Lastri yang begitu memesona.

Meskipun usia mereka sudah dua puluh tahunan, namun mereka tidak pernah tertarik untuk melakukan pacaran yang melebihi batas kesopanan. Bagi Sastro, Lastri adalah bidadari yang harus dijunjung tinggi kehormatannya. Dia begitu menjaga wanitanya yang saat itu ada di hadapannya, hingga dia tak sanggup untuk mengotori harga diri Lastri dengan tindakan asusila. Sastro hanya berani menatap Lastri dalam diam sambil sesekali memegang tangan Lastri saat mendengarkan cerita Lastri dengan seksama. Selebihnya, tidak.

*****

“Maaf, Bu. Kafe kami akan tutup. Sudah jam sepuluh malam.”Tiba-tiba suara pramusaji memecah keheningan. Tanpa sadar, sudah tiga jam Lastri duduk di sana. Kopi Latte yang ada di hadapannya masih utuh dan dingin. Perlahan, Lastri berdiri dari kursi. Tangan kanannya meraih tongkat yang ada di sebelahnya. Dengan kaki terpincang, Lastri berjalan meninggalkan kafe yang terlanjur mengikat kenangan dalam batinnya. Kaki kanannya terpaksa diamputasi karena kecelakaan yang terjadi sepuluh tahun silam, saat Sastro mengantarnya pulang dari kafe itu. Bayi yang dikandungnyapun ikut meninggal bersama Sastro. Usia kandungannya yang masih delapan bulan tak mampu diselamatkan oleh dokter lantaran Lastri terpelanting ke aspal dengan sangat keras. Sastro meninggal di lokasi kejadian setelah sebelumnya mengalami pendarahan yang hebat di kepalanya. Motor yang mereka tumpangi menabrak trotoar setelah menghindari seorang pengemudi truk yang oleng karena mengantuk. Baru saja setahun menikah, Lastri harus rela kehilangan suami dan bayinya untuk selama-lamanya.

*****

Lastri berjalan menyusuri ruang kafe, meninggalkan semua kenangan indah sekaligus menyakitkan bersama Sastro, yang telah menjadi kekasih abadinya.

“Tunggu aku sayang, kita bertemu lagi minggu depan.” gumam Lastri dalam hati sambil berjalan pergi meninggalkan kursi kafe yang kembali kosong untuk kesekian kalinya.

CRN, Ponorogo, 26 Agustus 2019

(mengisi waktu luang di jam istirahat sekolah)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

ujian cinta! Ok

26 Aug
Balas

Mantaps, kisah yang penuh haru. Sukses selalu dan barakallahu fiik

26 Aug
Balas

Aamiin. Terima kasih Bunda Siti Ropiah.

26 Aug

Aamiin. Terima kasih Bunda Siti Ropiah.

26 Aug

Waduh, Bunda. Membacanya jadi merinding.Barakallah sukses selalu.

26 Aug
Balas

Aamiin. Terima kasih Bunda Hafni.

26 Aug



search

New Post