Crysna Rhany Ningrum

Saya hanyalah seorang guru dari kota kecil yang tidak punya banyak harta untuk berbagi...tapi memiliki sebidang lahan di hati yg sangat luas untuk berbagi ilmu....

Selengkapnya
Navigasi Web
KAU DAN AKU

KAU DAN AKU

Namaku Roro. Banyak orang yang bilang aku cantik. Rata-rata dari mereka kagum dengan bentuk tubuhku yang proporsional. Tinggi dan langsing. Kulitku putih sama seperti kulit bayi yang baru lahir ke dunia tanpa dosa. Belum mengenal apa itu cinta dan air mata. Baginya, menatap adalah caranya untuk berbicara, meski terkadang tanpa suara.

Aku masih duduk sendiri di bawah lampu jalanan Malioboro. Kota yang banyak digandrungi pasangan muda-mudi. Entah apa yang membuat mereka betah merangkai kisah di kota yang tak pernah berpihak padaku ini. Lampu berpijar di mana-mana. Begitu terang, namun tetap gelap di batinku. Suara orang berlalu-lalang begitu nyaring terdengar. Ada yang sibuk menawarkan dagangannya, ada pula yang sibuk menawar barang incarannya. Mereka begitu bising di hatiku yang sunyi.

Sekarang bulan Agustus. Beruntung belum musim hujan. Jadi, aku masih bisa bebas duduk di kursi pelancong ini tanpa guyuran. Jujur, jiwa ini begitu kerontang. Harusnya aku rindu hujan. Tapi, yang kudapatkan hanya hujan air mata. Aku terus tersenyum, meski sejatinya aku tak berhenti menangis dalam diam.

Setiap kali bertemu denganku, kalian selalu bertanya, aku ini kenapa? Aku punya masalah apa? Untuk setiap pertanyaan sama yang muncul berulang kali, aku hanya akan menjawabnya dengan senyuman. Lantas balik ku tanya, “Kamu kenapa? Kamu ada masalah apa sehingga terlalu sibuk menanyakan aku kenapa?” Lagi-lagi untuk pertanyaan ini, kalian pun tak menjawab, hanya mengernyitkan dahi tanda tak suka lalu sedetik kemudian kalian akan melangkah pergi meninggalkan aku sendiri. Ya, aku sendiri lagi.

Aku sedang tidak ingin bercerita tentang kisah yang berakhir bahagia. Aku juga tidak ingin berbagi kisah yang harus berderai air mata. Aku ingin sendiri saja dan tidak melakukan apa-apa. Sama seperti kau dan aku yang tak pernah menjadi kita.

Kita? Siapakah kita? Bukankah sejak awal kau dan aku memang berada dalam dimensi hati yang berbeda? Kau sibuk dengan duniamu dan aku bahagia dengan duniaku? Sejak kapan kau dan aku berubah menjadi kita?

Aku menunduk. Menatap sebuah cincin yang masih melingkar di jari manisku. Lalu, aku teringat kenangan belasan tahun yang lalu, saat kau begitu bahagia memasangkannya di jari kananku. Waktu itu kau begitu lantang mengucapkan janji suci untuk sehidup semati. Akupun menerimanya dengan mata penuh haru. Kau dan aku kemudian duduk di kursi yang sama. Kau di sampingku sambil sesekali mencuri pandang ke arahku. Kau dan akupun saling melempar senyum. Kau dan aku begitu bahagia menikmati rasa. Semua doa tercurah untuk kau dan aku hari itu. Setelah sekian lama kisah antara kau dan aku terbina begitu indah, akhirnya kau dan aku bisa menyatukan semua perbedaan yang ada.

Sampai di sini, aku tetap tak bisa menyebut kau dan aku dengan kita? Karena sebutan kita benar-benar membuatku terluka. Kau dan aku terus menempati dimensi hati yang berbeda. Kau sibuk dengan duniamu dan aku bahagia dengan duniaku. Itulah kenyataan kau dan aku. Bahkan, ketika buah hati kita hadir, tak ada satupun kata yang pantas untuk disebut kita dalam hubungan antara kau dan aku.

Aku yang terlahir dari keluarga tak kaya, sudah terbiasa untuk menghabiskan waktu dengan bekerja. Bekerja apa saja demi mengumpulkan lembaran rupiah. Sedangkan kau yang terlahir dari keluarga kaya, terbiasa untuk memakai harta yang ada tanpa tanggung jawab untuk mencarinya. Semua perjuangan dan pengorbanan yang selama ini kulakukan tak pernah sedikitpun ada dalam catatan hatimu. Seolah semua harta yang dimiliki mengalir begitu saja tanpa tahu dari mana asalnya. Nyatanya, aku tetap bukan siapa-siapa bagimu.

Kau tertawa denganku saat semua baik-baik saja, namun kau begitu keji memaki aku saat semua mulai menemui kekacauan. Sama seperti jalanan ini yang begitu riuh dan kacau oleh kebisingan. Tak sedikitpun bisa membuatku nyaman berada di sisimu.

Aku lantas menatap langit. Di sana lebih indah. Hanya ada bintang dan warna hitam. Tak ada suara apalagi kebisingan. Lalu, aku tersenyum. Bintang kecil di kejauhan mengajakku tersenyum. Dia hanya menatapku dalam diam. Senyumnya begitu hangat. Seperti sebuah pelukan. Tapi, sayang. Tempatnya begitu jauh untuk kurengkuh.

Tiba-tiba sebuah bintang jatuh membentuk sebuah bayangan putih. Seperti asap. Perlahan, bayangan itu menjadi sebuah bentuk. Peri cantik dengan dua sayap yang begitu indah. Dia menyentuh tanganku dan mengajakku untuk terbang bersamanya. Entah kenapa, aku begitu bahagia. Dia begitu hangat. Senyumnya, tatapannya, seperti menawarkan sebuah kasih. Kasih yang selama ini terlanjur hilang entah kemana.

Tanpa penolakan, aku mengikutinya pergi. Dia membawaku terbang ke awan. Lalu, ditunjukkannya kerlip-kerlip lampu dari tempat yang sedari tadi aku duduki. Makin lama makin kecil hingga akhirnya tak terlihat. Tak ada satupun lagi terang yang dapat kulihat. Semua begitu gelap. Hingga samar-samar aku mendengar suara tangis darimu dan anak-anak kau dan aku. Aku tetap tak ingin menyebut kita, karena kau dan aku berada dalam dimensi hati yang berbeda. Kau sibuk dengan duniamu dan aku bahagia dengan duniaku.

Sebuah ruang serba putih. Penuh dengan alat medis dan suara mesin perekam jantung. Jantungku berdetak kencang. Aku kenapa? Aku di mana? Apa sebenarnya yang telah terjadi? Aku menjerit. Tapi, tak satupun dari kalian yang mendengar teriakanku. Lalu, kulihat kau menangis meraung-raung. Entah berapa kali kau berteriak minta maaf kepadaku. Matamu merah. Urat-urat di pelipismu terlihat makin menonjol menunjukkan perasaan pedih yang begitu kau rasakan. Lalu, anak-anak. Mereka juga menangis. Untuk siapa? Untukku kah? Aku baik-baik saja. Aku bisa melihat kalian. Tapi, kenapa kalian tidak bisa melihatku?

Aku melihat sekeliling. Tak ada yang bisa memberikan jawaban atas semua pertanyaanku. Kecuali, sebuah goresan di tangan sebelah kiri. Goresan yang sengaja aku ciptakan sendiri saat aku duduk di bawah lampu itu. Saat aku menikmati semua keriuhan Malioboro dalam keheningan hati. Aku telah mengakhiri segalanya. Pertengkaran kita. Kini, semua benar-benar menjadi kau dan aku. Tak akan pernah menjadi kita.

Tak lama kemudian kalian pergi meninggalkanku sendiri. Di sini. Di kamar yang tak pernah aku sukai. Kemudian, peri itu datang lagi. Dia menyuruhku untuk berganti baju dengan semua yang berwarna putih. Aku bertanya, “ Aku kenapa?” Peri itu hanya diam dan tersenyum. Seperti sebelum-sebelumnya. Dia tak menjawab. Kemudian dia mengajakku pergi dan tak pernah kembali lagi untuk selamanya.

“Sayang, bangun. Maafkan aku. Aku yang salah. Bikinkan kopi buatku. Aku kangen kopi buatanmu.”

Sebuah ciuman terasa hangat menempel di pipi. Tiba-tiba suaramu hadir menghidupkanku kembali, setelah terjebak dalam mimpi yang sama berulang kali. Setelah pertengkaran kita yang juga berulang kali. Setelah air mataku yang juga tumpah berulang kali. Setelah kata maaf yang juga kau ucap berulang kali. Setelah aku rela memaafkan dan rela terluka lagi. Kau terus hadir minta maaf dan menyakiti. Mungkin karena kau dan aku tak pernah menjadi kita dan hanya terjebak di janji suci semula.

-CRN-Ponorogo, 29182019

(Mengisi waktu di jam istirahat sekolah)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post