Crysna Rhany Ningrum

Saya hanyalah seorang guru dari kota kecil yang tidak punya banyak harta untuk berbagi...tapi memiliki sebidang lahan di hati yg sangat luas untuk berbagi ilmu....

Selengkapnya
Navigasi Web
BUKU DIARY WARNA COKELAT

BUKU DIARY WARNA COKELAT

#cerpen_crysna “Ibu, Anggun nanti pulang lebih sore ya. Ada tugas yang harus Anggun kerjakan di sekolah. Bu Shinta sudah berjanji akan mengajari pelajaran yang belum dipahami.” “Iya Nak, tidak apa-apa. Ini Ibu bawakan bekal dobel ya supaya kamu tidak kelaparan di sekolah nanti.” “Terima kasih Bu, Anggun berangkat dulu ya Ibu. Assalamu’alaikum Bu.” gadis manis berhijab putih itu segera menyalami tangan ibunya dengan takzim. Pagi masih berembun. Jarak rumah ke sekolah Anggun sekitar delapan kilometer. Begitu semangat anak buruh tani itu mengayuh sepedanya. Biasanya dia butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai ke sekolahnya. Itupun dengan gaya mengayuh yang cepat. Anggun memang anak yang gesit. Dia tak pernah terlihat malas dalam hal apapun. Semua dikerjakannya dengan penuh senyuman. Sepanjang jalan, belum banyak terlihat lalu lalang kendaraan. Masih terlalu pagi bagi anak-anak untuk bersekolah. Tapi, tidak untuk Anggun. Dia lebih memilih berangkat pagi untuk bertemu dengan embun yang masih segar dan bebas dari polusi kendaraan. Diiringi suara burung yang riuh bersahutan. Gadis ceria itu terus menyunggingkan senyum, sembari melihat kanan kiri dan mendendangkan lagu-lagu kesukaannya. Hari itu, Pak Mamad tidak masuk sekolah karena sakit. Guru matematika yang super galak itu sudah beberapa hari ini tidak masuk sekolah. Rupanya penyakit hipertensinya kambuh lagi. Anak-anak begitu riang bersorak mengetahui guru yang hampir pensiun itu tidak masuk di kelas. Sebagian ada yang lari ke kantin. Beberapa ada yang bermain di kelas. Anggun lebih memilih menghabiskan waktunya untuk menulis diary. Buku kecil berwarna cokelat hadiah ulang tahun ayahnya yang sudah setahun lalu meninggal selalu menjadi teman pengisi sepinya. Banyak kisah yang dia tulis di buku itu. Tak ada satupun yang tahu apa isi bukunya. Begitu tenang Anggun menuliskan beberapa kalimat disana. Bel istirahat pun berdering keras. Anak-anak bersorak. Semua berhamburan ke kantin. Anggun tetap duduk di bangku nomer tiga dari depan. Dia selalu memilih duduk di tengah karena siswi cerdas ini lebih suka belajar dengan melihat langsung guru yang mengajarnya. Baginya, duduk di posisi tengah sangat membantunya untuk lebih berkonsentrasi. Sesaat kemudian Anggun segera membuka bekal makanan yang dibawakan ibunya dari rumah. Sekotak nasi putih ditambah sepotong tahu dan tempe yang dilumuri sambel bawang adalah makanan yang selalu dia bawa ke sekolah. Masih untung baginya bisa makan sehari tiga kali meski hanya berlauk tahu dan tempe. Saat awal ayahnya meninggal, Anggun pernah makan hanya sehari sekali hingga beberapa bulan. Ibunya benar-benar kehilangan tumpuan hidupnya. Bayarannya menjadi buruh tani sangat kecil untuk makan mereka berlima. Anggun adalah anak pertama dari lima bersaudara. Adik-adiknya masih kecil. Satu masih duduk di bangku SMP, satunya lagi SD dan kedua adiknya yang lain masih balita. Kehilangan suami sungguh membuat ibu Anggun terpuruk. Wanita beranak lima itu nyaris gila begitu mendengar suaminya meninggal karena kecelakaan. Padahal sebelum meninggal, kehidupan mereka masih berjalan normal meski hanya pas-pasan. Ayah Anggun adalah seorang petani yang ulet. Dia tidak memiliki sawah, tapi dengan ketekunannya dia bisa menyewa beberapa petak sawah untuk ditanami palawija. “Anak-anak, besok silahkan kalian mengumpulkan dua buah buku ke sekolah untuk mendukung kegiatan literasi di sekolah. Buku wajib dikumpulkan paling lambat hari Sabtu.” suara Pak Danu terdengar begitu keras dari speaker aktif yang terpasang di tiap kelas. Seluruh siswa spontan berteriak kesal. Banyak diantara mereka yang tidak begitu menyukai kegiatan literasi di sekolah. Bagi mereka, kewajiban membaca dan menulis di sekolah adalah sebuah beban berat lebih berat dari mengangkat beban satu kwintal yang harus dibawa naik turun sepuluh kali dari tangga lantai tiga sekolah. Begitu beratnya, hingga tak ada satupun siswa yang mau melakukannya dengan senang hati. Anggun terdiam. Dua buku? Bagaimana dia bisa mendapatkannya, sedangkan uang jajan saja dia tak pernah mendapatkannya. Mata bening Anggun mulai basah. Terlihat jelas bayangan ibunya yang harus menahan panasnya mentari setiap hari hanya untuk mempertahankan kehidupan kelima anaknya. “Ayah, Anggun harus bagaimana? Anggun tidak punya uang Yah. Ibu juga pasti tidak punya uang. Anggun bingung Yah, bantu Anggun ya Yah...” tulis Anggun di buku diarynya. Gadis bermata sendu itupun segera menutup bukunya. Dia tak sanggup berlama-lama mencurahkan isi hati kepada ayahnya yang telah tiada. Baginya, bicara dengan ayah adalah hal yang paling menyamankan hatinya meskipun itu hanya lewat secarik kertas. ***** Bu Shinta adalah seorang guru terfavorit di SMA tempat Anggun sekolah. Semua siswa menyukainya. Tak sekedar karena guru tersebut cantik parasnya, namun juga karena perempuan yang masih lajang itu lembut hatinya. Tak sekalipun dia pernah memarahi muridnya. Jika bertemu dengan anak yang nakal, dia akan mendatangi siswa tersebut sembari berkata dengan lembut. Rudy anak ternakal di sekolah itupun takluk jika berurusan dengan Bu Shinta. Siang ini, Bu Shinta sudah berjanji dengan Anggun untuk mengajarinya belajar komputer di laboratorium komputer. Ada beberapa tugas sekolah yang tidak bisa Anggun kerjakan di rumah karena terkendala sarana. Jangankan sebuah laptop yang terkoneksi jaringan internet. Listrik di rumah saja nyaris diputus PLN hanya karena sering terlambat membayar. Bu Shinta lah yang selalu mendampingi Anggun ketika ada tugas. Meski masih kelas sepuluh, tapi Anggun sudah menguasai beberapa software grafis dan multimedia yang baru akan diajarkan di kelas dua belas. Kemiskinan tak menjadikannya miskin ilmu. Gadis ceria itu selalu memanfaatkan semua fasilitas sekolah dengan baik. Tak heran jika dia selalu bintang kelas mengalahkan siswa lain yang memiliki fasilitas lebih dari cukup. “Assalamu’alaikum Bu Shinta.” ucap Anggun sambil tersenyum dan mengangguk dari luar pintu. “Wa’alaikum salam, ayo masuk Shinta, silahkan duduk.” “Terima kasih Bu.” “Kita lanjutkan ya desain kamu yang kemarin. Oh ya waktu kita tinggal hari ini lho Anggun. Berarti kita harus segera menyelesaikannya.” ucap Bu Shinta mengawali sesi latihan siang itu. “Baik Bu, kebetulan kemarin sudah hampir selesai. Sekalian nanti saya mengerjakan PR Fisika ya Bu. Oh iya Bu, ada beberapa detail yang saya belum paham bagaimana teknik pembuatannya.” “Yang mana, sini biar Bu Shinta jelaskan.” Tak lama kemudian, mereka pun larut dalam desain yang sedang dipersiapkan. Ada sebuah event lomba yang akan diikuti Anggun. ***** Hari mulai gelap. Ibu Anggun masih sibuk menyiapkan makan malam untuk kelima anaknya. Aroma ikan asin begitu menggugah selera untuk segera makan. Anggun dengan cekatan membantu ibunya membuat sambel bawang yang selalu ada di setiap kali mereka makan. Anggun sampai tahu persis bagaimana racikan sambel bawang yang sempurna. Perasan jeruk nipis pun tak lupa ditambahkan untuk menambah aroma kesegaran. Tak berapa lama, mereka segera melahap makanan yang tersedia. Kedua adik Anggun yang masih balita hanya makan menggunakan kecap dan kerupuk. Tubuhnya kurus karena kurang gizi. Upah buruh tani hanya lima belas ribu sehari. Entah bagaimana peningnya ibu Anggun yang harus mengatur keuangan sedemikian rupa agar kelima anaknya bisa tetap makan setiap hari. Hampir jam sebelas malam. Mata Anggun masih belum bisa terpejam. Hari Sabtu adalah hari yang sangat menakutkan baginya. Mengumpulkan dua buah buku baginya sangat berat. Meski pesan yang disampaikan boleh buku bekas, tapi pada kenyataannya Anggun tidak memiliki buku bacaan bekas di rumah. Buku yang dimilikinya hanya buku yang dipinjamkan dari sekolah. Sedangkan materi lain yang dia pelajari adalah yang dia dapatkan dari internet sekolah. Bu Shinta lah yang selalu membantunya untuk mendapatkan materi tambahan di sekolah. “Ayah, Anggun harus bagaimana? Anggun bingung Yah. Sekarang sudah hari Kamis. Sabtu ini buku itu harus dikumpulkan. Anggun harus bagaimana Yah...Ayah, bantu Anggun...” sesenggukan Anggun menulis kalimat di buku diarynya. Beberapa air matanya menetes membuat sebagian tinta memudar. Tak lama kemudian Anggun tertidur masih dalam posisi terduduk di meja kamarnya. Detik-detik pengumuman lomba begitu menegangkan. Dua minggu sudah Anggun mempersiapkan diri didampingi Bu Shinta. Jika namanya masuk sepuluh besar, maka dia berkesempatan untuk mempresentasikan karyanya di depan dewan juri. Tangan Anggun begitu dingin. Jantungnya berdebar makin kencang. Bu Shinta yang duduk disebelahnya pun tak kalah gusar. Dia tahu, murid kesayangannya ini sangat membutuhkan kemenangan ini. Sangat mudah bagi Bu Shinta untuk memberikan uang kepada Anggun membeli buku-buku itu. Tapi, Bu Shinta memilih cara lain untuk membuat Anggun bahagia mendapatkan apa yang dia butuhkan. Tak lama kemudian, dewan juri mengumumkan nama peserta yang lolos masuk ke babak final. Begitu bahagianya Anggun ketika namanya turut disebut. Bu Shinta langsung memeluk Anggun, memberikan support kepada siswanya agar lebih tenang dalam presentasi. “Anggun, tinggal selangkah lagi kamu untuk menang. Dengarkan Ibu baik-baik. Kamu adalah yang terbaik. Karyamu jauh lebih bagus dari semua peserta yang ada disini. Presentasikan karyamu dengan tenang dan bangga hati. Waktu lima belas menit di atas panggung adalah waktumu. Tidak ada yang bisa mengganggumu. Gunakan waktu itu untuk meyakinkan juri bahwa karyamu memang layak jadi yang terbaik. Ayo, buat Ayahmu tersenyum di surga dan Ibumu bahagia menerima piala yang akan kamu bawa pulang sore ini. Dan satu lagi, belilah dua buku itu dari hasil kerja kerasmu. Kamu pasti bisa melakukannya Anggun. Bu Shinta sangat percaya kamu akan menyelesaikan semua masalahmu dengan baik.” Kalimat terakhir Bu Shinta lah yang membuat Anggun kembali semangat. Perlahan dia mulai mengalahkan semua rasa grogi yang menguasai batinnya. “Ya, jika aku menang, aku bisa membeli kedua buku itu dengan uang hasil lomba. Ayah...bantu Anggun...” ucap Anggun dalam hati menyemangati dirinya sendiri. Lima belas menit dilalui Anggun dengan sempurna. Dia begitu percaya diri untuk mempresentasikan karyanya. Semua pertanyaan dewan juri dijawab tanpa ada kesalahan sedikitpun. Semua detail teknik pembuatan desain juga dijelaskan dengan gamblang. Suaranya yang tegas makin membuat seluruh hadirin tertegun kagum. Hingga akhirnya nama Anggun disebut sebagai juara pertama dalam perlombaan hari itu. Anggun menangis mendengar namanya kembali disebut untuk kedua kalinya oleh dewan juri. Namun, kali ini namanya disebut sebagai juara. Sorak sorai seisi ruangan bergemuruh memberikan selamat kepada para pemenang saat mereka menerima piala, sertifikat dan uang pembinaan. Tertulis angka Rp. 1.000.000, (Satu Juta Rupiah) pada hadiah yang dengan bangga dipegang di depan dada gadis berlesung pipit itu. “Terima kasih Ayah...Anggun menang Ayah...Piala ini buat Ayah...” ucap Anggun dalam hati. Air matanya kembali menetes, tapi kali ini dia meneteskannya dengan penuh rasa bahagia. TAMAT.
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post